Bongkar Perdagangan Anak Berkedok Kos-kosan di Jateng
Ilustrasi |
newswoow - Terbongkarnya kasus perdagangan anak bawah umur berkedok karaoke di Kota Tegal cukup mengagetkan masyarakat setempat. Meskipun sebenarnya hal demikian bisa saja terjadi di daerah lain.
Beberapa hari lalu, Polda Jateng menggerebek tempat karaoke di Komplek Pasar Beras Mintaragen, Kota Tegal dan menemukan sejumlah wanita bawah umur dipekerjakan di tempat hiburan itu.
Warga setempat kaget karena mengira lokasi itu hanya sebagai tempat kos, tidak seperti tempat karaoke pada umumnya.
Menelusuri adanya dugaan kasus perdagangan anak bawah umur di Kota Tegal, Semarang, Kabupaten Pati, Kota Purwokerto, Solo dan daerah lain. Lebih mengerucut pada soal, anak bawah umur dipekerjakan sebagai wanita pekerja seks, melayani hidung belang. Dalam hal ini anak-anak tersebut menjadi korban para muncikari atau pelaku perdagangan orang.
Tempat karaoke di Kota Tegal yang digerebek Polda Jateng, bentuknya memang menyerupai kamar-kamar kos. Tetapi ada tiga ruang karaoke di lokasi tersebut yang tempatnya cukup tersembunyi.
Saat mendatangi lokasi, tempat karaoke tersebut sepi. Tidak ada yang berjaga dan ruang karaoke dalam keadaan tidak terkunci. Termasuk beberapa kamar kos juga kosong dalam keadaan tidak terkunci.
Penjaga rumah kos, sebut saja Jono (29) mengatakan, semua yang terlibat dalam kasus dugaan perdagangan anak di sini sudah dibawa ke Polda Jateng. Termasuk di antaranya 10 pemandu lagu (PL) yang juga tinggal di kos-kosan tersebut.
Ia bercerita, petugas kepolisian dua malam datang kemari. Saat malam penggerebekan ada tujuh PL yang dibawa ke Polda. Kemudian malam keesokan harinya dibawa lagi tiga PL. Tapi Jono mengaku tak tahu berapa usia para PL itu.
"Tidak ada yang tersisa satu pun, sudah dibawa semua. Malam kedua dibawa lagi tiga PL, jadi totalnya 10 PL," kata Jono.
Jono menyebut, awalnya tempat ini adalah kafe. Karena tidak laku, lalu dibangunlah rumah kos. Setelah itu menyusul baru ada tempat karaoke. Untuk karaoke sendiri sudah berjalan 1,5 tahun.
Menurutnya, pria hidung belang yang datang ke sini, tidak bertele-tele. Setelah transaksi Rp 1,5 juta maka langsung masuk kamar.
"Jadi kemari tidak nyanyi. Langsung masuk ke kamar kos terus bayar Rp 1,5 juta untuk yang di bawah umur," ujarnya.
Namun menurut Jono, penghuni rumah kos di lokasi tersebut tidak semuanya PL. Beberapa juga ada penghuni kos yang berkeluarga. Rumah kos tersebut memang khusus untuk perempuan dan warga yang berkeluarga. Jumlah kamas kos ada 22.
"Jadi tidak hanya PL, orang berkeluarga juga ada yang kos di sini," bebernya.
Menurut keterangan Marni, pedagang di sekitar lokasi, memang banyak remaja-remaja cantik keluar masuk kos. Perempuan muda itu berpakaian seksi.
"Saya tahunya itu kos-kosan. Banyak cewek-cewek cantik, wajahnya masih kaya anak SMP dan SMA. Kalau keluar kos pakaiannya seksi-seksi," katanya.
Diberi fasilitas
Seorang korban perdagangan anak bawah umur, sebut saja Ririn mengaku sejak dirinya sekolah SD sering melihat orangtuanya cekcok. Orangtuanya kemudian berecerai. Dan sejak itu Ririn sering main keluar rumah. Akhirnya dia bergaul dengan teman sebaya yang tak peduli agama maupun norma di masyarakta.
"Sejak SMA,saya sudah jarang pulang ke rumah. Lebih nyaman tinggal di rumah teman. Kalau tidak, ada beberapa teman yang lebih tua dari saya dan tinggal di sebuah kos," kata Ririn mengenang.
Lama-lama Ririn sering mbolos tidak masuk sekolah. Akhirnya dia pun putus sekolah.
"Di sisi lain, orangtua sudah tidak mampu lagi membiayai sekolah saya. Saya diminta untuk membantu membiayai sekolah dengan bekerja. Kemudian saya putuskan untuk pergi dari rumah dan enggan untuk pulang," terangnya.
Ririn tahu keputusannya membuat orangtuanya khawatir. Namun, di sisi lain ia menyesal dengan kondisinya mengapa berada di posisi yang tidak pernah dialami oleh teman sebayanya.
"Saya pergi berminggu-minggu. Tinggal di sebuah kos teman di daerah Magelang. Saya tahu mereka mencari saya. Tapi rumah bukan lagi rumah bagi saya," tambah Ririn.
Waktu itu dia mendapat tawaran untuk bekerja. Tawaran itu datang dari orang yang dikenal oleh temannya. Beberapa temannya pun juga mengaku sudah pernah bekerja dengan orang tersebut.
"Kerjanya gampang dan ringan, cuma menemani orang minum saja. Seminggu nanti bisa beli HP dan perhiasan. Dan lain-lain tawarannya sangat menggiurkan," kenangnya.
Saat usia 16 tahun Ririn tergiur untuk "bekerja". "Kemudian saya mulai bekerja dan dibuatkan KTP palsu untuk dituakan biar aman. KTP itu masih saya simpan sampai sekarang," tuturnya.
Ririn dan teman-temannya dikirim ke Kalimantan. Di sana ditempatkan di mess.
"Saya sudah terlanjur diberi semua fasilitas, HP, perhiasan dan uang saku. Maka saya harus berangkat. Sampai di sana saya dipaksa melayani hidung belang. Baru sadar saya dijadikan PSK. Saya tolak keras," katanya.
Singkat cerita, Ririn berhasil kabur dari mess tersebut. Kemudian beberapa mingggu kerja di Kalimantan untuk mengganti semua fasilitas yang telah dia terima sebelumnya.
"Saya harus kerja bagaimana caranya, supaya hutang saya kepada teman bisa lunas dahulu. Kalau bisa saya punya tabungan, sehingga ketika pulang ke rumah ada yang bisa saya bawa," tambahnya.
Korban jadi agen
Pendidikan, pemenuhan hak kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik tidak bisa lagi ditawar oleh orangtua. Karena ketiga elemen tersebut harus ada di dalam sebuah keluarga, untuk mencegah terjadinya praktik-praktik perdagangan anak.
Ai Maryati Solihah, anggota KPAI bidang Trafficking dan Eksploitasi, mengatakan, untuk mencegah munculnya korban baru dalam perdagangan anak, pihak orangtua atau keluarga harus mendidik anak dengan benar. Memberikan pendidikan akhlak dan pendidikan alat reproduksi juga penting bagi anak.
"Membahas organ reproduksi kepada anak jangan dianggap tabu. Membiarkan anak belajar sendiri juga kurang tepat. Lebih baik dijelaskan terkait dampak risiko yang ditimbulkan jika melakukan hubungan seks di luar nikah," ujarnya.
Ai seringkali menemukan korban perdagangan orang, berasal dari keluarga yang cenderung membiarkan anaknya. Tidak memberikan hak pendidikan, maupun cara pengasuhan yang baik lainnya.
"Keluarga yang seperti itulah yang akan membuka celah untuk anak bermigrasi. Memiliki pemikiran dalam otaknya hanya uang dan kesenangan. Tanpa mempedulikan kesehatannya," jelasnya.
Sebab menurut Ai, anak-anak masih belum memiliki kapasitas untuk bekerja. Cara berpikiranya pun cenderung hanya ingin mencari kepuasan pribadi. Anak-anak yang rentan seperti ini, akan dimanfaatkan oleh pelaku untuk dibujuk maupun dipaksa menjadi pekerja yang seharusnya tidak dilakukan.
"Jika pelaku sudah merekrut satu korban. Korban itu nantinya akan menjadi agen. Dia akan mengetahui orang-orang seperti apa yang pantas untuk diajak bekerja di sebuah diskotik, tempat karaoke, maupun tempat prostitusi. Tentu dengan iming-iming sejumlah uang yang bisa merubah kehidupannya," paparnya.
Post a Comment