Cerita Tiga Cewek ini Bisa Lakukan Apa Saja Untuk Mencapai Tujuannya
"Sebelumnya, anak-anak dilarang baca cerita ini. OK"
newswoow - "Gimana kalo kita taruhan aja?" tantang Viona kepada kedua sahabatnya, Sandra dan Linda. Mereka adalah tiga kroni yang akan melakukan apapun demi mencapai tujuan.
Mereka super model terkenal dengan penghasilan jutaan dolar. Gaya hidup mereka sangat glamor. Tidak ada barang tidak bermerk yang melekat di tubuh mereka. Mereka juga selalu menarik perhatian kaum Adam, di manapun mereka berada. Karena selain memiliki wajah cantik, tubuh mereka juga berisi di tempat-tempat yang seharusnya.
Viona adalah primadonanya. Dia memiliki darah setengah Irlandia, hingga membuatnya memiliki kecantikan yang sukar ada tandingannya. Dia memiliki skandal panjang, yang membuat karirnya justru semakin meroket.
"Maksud elo?" Sandra dan Linda mengajukan pertanyaan hampir berbarengan.
"Leon! Dia taruhan yang lumayan besar."
"Elo udah gila? Emang nggak ada cowok yang lebih buruk dari dia?" sindir Sandra tidak mengerti.
"Justru itu tantangannya, bego!" Viona menyesap wine merah di tangannya dengan bibir bergincu merah menyala miliknya.
"Siapa juga yang mau berkencan dengan pria super nerd seperti dia? Meski dia pemilik perusahaan perhiasan ternama, jika penampilannya seperti itu...gue mah ogah!"
"Terus elo gimana, Lin?"
"Gue juga ogah! Bisa-bisa pamor gue menurun di mata laki-laki jika jalan bareng dia!"
"Kalo gitu ini tantangan buat diri gue sendiri."
"Maksud elo apaan sih, Vi?"
"Kalo gue bisa naklukin Leon dalam waktu kurang dari dua minggu, maka elo berdua harus mau ngasih apapun yang gue mau!"
Sandra dan Linda tampak berpandangan ragu. "Terus kalo elo yang kalah?"
"Kalo gue nggak bisa naklukin Leon, maka gue akan bayarin liburan kalian ke Mediteranian selama satu bulan. Gimana?"
"Deal! Dan itu berlaku juga jika elo menang."
Mereka bersulang dengan wajah ceria. Sandra dan Linda berani bertaruh, jika Viona pasti akan kalah. Namun Viona justru memiliki keyakinan berbeda. Dia akan berusaha menaklukan hati Leon, yang terkenal tidak pernah memiliki kekasih.
Siapa yang mau berdekatan dengan pria seperti dia. Meski Leon salah satu pengusaha sukses, dan sangat kaya raya, namun penampilannya sungguh jauh dari kata modis. Perusahaan Leon sangat sering menggunakan jasa mereka, untuk mengiklankan produk terbaru. Beberapa kali, mereka juga bertemu dengan Leon saat acara launching produk.
Tapi hubungan itu hanya sebatas profesionalitas. Para model menawan yang suka memburu para pengusaha muda dan kaya, justru mundur teratur untuk menjauh dari Leon. Tidak ada yang mau berdekatan terlalu lama dengan pria itu.
"Elo yakin mau pake baju ini?" Dina melirik ngeri dengan pilihan baju Viona. Asisten Viona yang sebenarnya bernama Dino itu, mencoba mengacak-acak lemari baju untuk menemukan yang sesuai dengan selera Viona selama ini.
"Itu udah yang paling cocok, Dinooo."
"Ih! Panggil gitu lagi, gue garemin mulut elo!" Dina tampak memberengut kesal.
"Iya, maaf. Tapi gue pengin terlihat seksi di depan Leon. Pakaian ini kelihatannya cocok dengan gala dinner nanti malam."
"Tapi elo kan paling nggak suka mempertontonkan tubuh elo jika di luar catwalk. Terus...what? Elo bilang semua demi Leon? Elo nggak lagi kesambet jin iprit kan?"
"Hei, gue lebih dari normal kali! Emang apa salahnya sih sama Leon? Sesekali ngedeketin yang beda boleh kan?"
"Tapi itu cowok, kan nggak banget! Mimpi apa elo semalem sih, Vio?"
Mana mau Viona membuka masalah taruhan dengan kedua temannya. Tidak. Ini akan menjadi rahasianya. Dino boleh saja menjadi asistennya, tapi dia tidak ingin berbagi semua mengenai kehidupannya dengan pria sok ganjen itu.
"Udah! Berisik banget sih lo! Yang penting dia kaya, siapa yang tau dibalik penampilan super nggak bangetnya itu kan?"
"Gue tau, elo belum bisa move on dari Steven. Tapi pilihan elo kali ini, gue bener nggak setuju!" jerit Dino senewen.
###
Viona dengan sengaja menumpahkan wine yang dipegang, di atas tuxedo yang dikenakan Leon. Wanita itu pura-pura memasang wajah terkejut, dan segera mengambil tisu untuk membersihkan hasil dari ulahnya.
"Sebaiknya saya ke toilet dulu." Leon dengan wajah datar menyingkirkan tangan Viona dari atas jas.
"Sekali lagi saya minta maaf. Saya sungguh tidak sengaja melakukannya." Viona mengikuti langkah Leon yang mulai meninggalkan Hall.
"Sebaiknya kamu nggak usah ngikutin saya. Ini hanya masalah sepele, saya akan menyuruh asisten saya untuk mengantarkan jas yang baru." Leon berdiri di koridor yang sepi.
"Tapi saya jadi ngerasa bersalah. Gini aja, gimana kalo jas yang basah itu saya bawa aja, nanti setelah dicuci, akan saya kirim lagi kepada anda."
Mata biru di balik kacamata tebal itu menatap Viona tanpa berkedip. Sementara Viona berdiri dengan perasaan mulai gelisah. Leon tidak seperti dugaannya. Pria itu tidak gagu atau salah tingkah berhadapan dengannya. Pria itu justru terasa dingin dan datar, bahkan terlihat berpengalaman menghadapi orang lain.
"Kenapa kamu maksa banget? Jangan pikir, saya nggak tau jika ini hanya salah satu trik kamu buat ngedeketin saya?"
Viona agak terkejut karena tebakan pria itu benar. Yang bahkan dia sendiri merasa muak melakukannya. Selama ini dia sudah lelah berpura-pura menyukai siapapun yang mendekatinya. Steven membuat Viona menjadi orang lain selama bertahun-tahun.
Viona lelah selalu menjadi pusat perhatian. Dia lelah memamerkan tubuhnya kepada siapapun, pria yang bersedia memberikan uang segepok demi dapat tidur dengannya. Dia yang bekerja keras, dan Steven yang menikmati hasilnya.
Sekarang pria itu kabur dengan uang hasil jerih payahnya. Untung saja, Viona masih memiliki tabungan yang lumayan besar, yang dia simpan tanpa sepengetahuan Steven.
"Oh, sepertinya aku sudah ketahuan." ringis Viona tanpa rasa malu sedikitpun.
"Sebaiknya kamu mencari pria lain saja! Aku tidak suka model sepertimu."
Harga diri Viona seketika berontak. Dia sangat tersinggung dengan ucapan Leon. Terlebih pria itu mengatakannya dengan nada dingin dan meremehkan.
"Memangnya seperti apa diriku, Tuan Leon yang terhormat?"
Leon mengamati Viona kembali dari ujung kepala hingga ujung kaki, "Wanita yang hanya mengandalkan fisiknya untuk menggoda laki-laki. Bersedia melebarkan selangkangan kapanpun, jika uang mengalir ke rekening mereka."
Viona terperangah, tidak menyangka jika tampang bodoh Leon ternyata menyimpan bisa yang begitu mematikan. Dia memang pernah diundang oleh beberapa pengusaha kaya, namun tidak pernah ada yang meminta dirinya untuk tidur bersama.
Karena Viona selalu menolak. Tubuh dan jiwanya hanya milik Steven. Setidaknya hingga satu tahun lalu. Para pengusaha itu hanya membutuhkan jasanya untuk menjadi model, memamerkan kekayaan yang mereka miliki. Dan Viona mendapatkan bayaran yang sangat pantas untuk pekerjaannya itu.
"Apa anda bersedia mencobanya, Tuan Leon Ferdinand yang terhormat?" dengan sangat berani, Viona melangkah mendekati pria itu.
Tatapan mata Viona mengunci Leon. Dia berjalan dengan gaya menggoda. Pinggul bak gitar Spanyolnya melenggok dengan indah, sementara kedua payudaranya yang setengah menyembul, tampak bergetar ketika dia berjalan.
Leon tampak membasahi kerongkongannya. Terlebih ketika Viona sudah menempelkan tubuh di dadanya. Viona mengulurkan tangan, menarik leher Leon agar menunduk.
Tanpa menunggu lama, Viona sudah menempelkan bibir merahnya di atas bibir Leon yang terbuka karena terkejut. Hal itu digunakan Viona untuk menjejalkan lidahnya. Dia sengaja meliuk-liukkan lidah di dalam mulut pria itu, menggoda dan menguasai sepenuhnya.
Bibir Viona mengecup dan melumat bibir Leon, hingga membuat pria itu mengerang. Satu tangan Viona mengelus-elus celana di depan kejantanan Leon. Dia tersenyum ketika merasakan milik Leon yang besar terasa kaku di tangannya.
"Bahkan kaupun tidak bisa menolakku. Kau bahkan bukan klienku, tapi aku sudah memberikan apa yang tidak pernah aku berikan kepada semua klienku. Aku rasa kau sudah tahu, berapa uang yang harus diberikan untuk pelayanan gratis ini, Tuan."
Viona melepaskan ciumannya, dan berbisik dengan sensual. Setelah itu dia melangkah meninggalkan Leon yang kacau, tanpa menoleh lagi.
###
"Leonnnn!" Viona berteriak keras ketika mencapai puncak. Tubuhnya jatuh di atas kasur dengan napas memburu. Dia mencabut dildo berwarna merah dari dalam vaginanya. Matanya menatap sayu pada benda basah di tangannya.
Ini gila! Viona merasa dirinya memang sudah setengah gila. Semenjak peristiwa dia mencium Leon, sekarang fantasi seksnya selalu dipenuhi oleh sosok pria itu. Semenjak Steven meninggalkannya, dia selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan.
Dia tidak pernah memikirkan seks lagi, bahkan one night standpun dia hindari. Sandra dan Linda selalu mengejeknya, tapi Viona tidak peduli. Sudah setahun lebih, dia tidak pernah berhubungan seks dengan pria manapun.
Namun semenjak dua minggu lalu, libidonya kembali menyiksa dirinya. Bayangan mulut dan bibir hangat Leon, selalu menyiksa Viona. Terlebih ketika dia membayangkan betapa besar ukuran kejantanan Leon. Seketika hasrat seksnya naik, dan dia sangat ingin dimasuki.
Tapi dia tidak ingin mencari pria, yang pasti akan dengan senang hati memberi yang dia butuhkan. Dia tidak ingin terjangkit penyakit berbahaya. Meski dia dapat mencari partner seks yang sehat, namun Viona tidak mau mengambil resiko.
Akhirnya dia memilih dildo, sebagai partner yang paling aman. Dia memiliki beberapa, dari yang ditempel hingga yang bisa dipegang sendiri. Dia kini seperti jalang, yang seperti tidak pernah puas dengan permainan itu.
Viona sudah hampir memejamkan mata, ketika bunyi ketukan di pintu mengagetkannya. Dia memang tidak sedang tidur di kamarnya sendiri. Dia kini sedang berada di Lombok. Ada pemotretan yang harus dia jalani, dan dildo tidak pernah ketinggalan di dalam tasnya.
Dia menyambar kimono tidurnya, dan berjalan tanpa alas kaki menuju pintu. Karena lelah dan mengantuk, dia lupa melihat layar monitor untuk mengetahui siapa tamu yang datang itu.
"Kau? Sedang apa kau di sini?" Viona hampir saja berteriak demi melihat si tamu tak diundang. Dia sudah hampir menutup pintu kembali, namun kedua tangan kokoh pria itu menahannya.
"Kita tidak memiliki urusan apapun! Jadi, aku mohon pergilah dari sini!"
"Begitu? Bahkan urusan kita baru saja dimulai, Nona!"
Viona tidak mampu mencegah ketika tubuh kekar itu menerobos kamarnya. Untung saja dia sudah menyimpan alat bantu seks kesayangannya. Viona akhirnya menutup pintu kembali, ketika melihat Leon sedang duduk di atas kasur.
"Apa sebenarnya maumu? Kau sudah melanggar privasiku, menganggu waktu tidurku, padahal besok aku ada pemotretan pagi-pagi sekali."
"Ini hotelku."
"Itu bukan urusanku!"
Viona menjatuhkan tubuh lelahnya di bagian sisi lain kasur. Dia tidak ingin meladeni pria itu, karena matanya sudah sangat ingin terpejam. Dia juga tidak mau memikirkan apa yang diinginkan pria itu darinya. Pekerjaannya beberapa hari ini sudah sangat menyita waktu dan tenaganya.
Viona juga tahu, jika hotel dan Resort itu milik Leon. Dia hanya berusaha profesional. Beberapa hari ini, Viona menghindari apapun kegiatan yang harus melibatkan dirinya dengan pria itu. Dia sudah lupa dengan taruhan itu. Dia bahkan merasa malu karena sudah bertindak ceroboh kala itu.
"Leon! Apa yang kau—mmfffhhh!" Viona tidak sempat menghindar ketika tubuh Leon sudah mengungkungnya. Bahkan pria itu langsung menerjang bibirnya dengan ciuman lapar dan menggebu.
"Leon, kau tidak bisa melakukan ini kepadaku! Lepaskan aku! Lepaskan!" Viona berusaha melepaskan diri. Dia mencoba memalingkan wajahnya, namun cengkraman tangan Leon di kedua sisi kepalanya begitu erat.
"Diam! Atau aku benar-benar akan memperkosamu!"
Viona akhirnya menyerah. Dia hanya diam, membiarkan Leon menguasai mulut dan bibirnya. Melawanpun sia-sia. Tenaganya kalah besar dengan pria itu. Mungkin akan lebih baik jika dia menikmati saja, dan berharap semua hanya mimpi.
###
"Leon, apa yang kau lakukan kepadaku?" Viona terlambat mengetahui, ketika menyadari jika kedua pergelangan tangan dan kakinya sudah diikat kuat di empat sisi tempat tidur. Dia terbaring telentang di tengah ranjang, dalam keadaan tidak memakai sehelai benangpun. Viona telanjang, dengan Leon yang menatapnya penuh bara.
"Kau sudah membuatku gila, Viona. Aku bersumpah akan mendapatkan dirimu, apapun yang terjadi. Aku tidak akan melepaskanmu dengan begitu mudah. Sementara itu, kau juga harus menyiapkan dirimu, karena berani berurusan denganku."
Bukannya takut atau ingin memberontak, hasrat Viona justru naik demi mendengar janji pria itu. Mata Viona tidak lepas dari Leon yang tengah menanggalkan pakaian yang dikenakan satu demi satu. Kantuk dan rasa lelah seakan menguap dengan cepat, berganti dengan rasa berdebar menunggu yang akan dilakukan Leon kepadanya.
"Apa kau suka, manis?" senyum Leon sambil membuka kacamatanya. Viona terbelalak tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya.
"Kau—kau, jadi, kau itu—" napas Viona tercekat di tenggorokan. Matanya menatap nanar kepada pria yang sudah berdiri dengan hanya memakai celana boxer saja.
Dia menelan ludah dengan susah payah. Seharusnya dia tahu, satu-satunya pria yang mampu membangkitkan hasrat liar di dalam tubuhnya. Wajah tampan pria itu, dan otot liat di sepanjang tubuh besarnya. Dia seharusnya membenci pria itu, namun reaksi tubuhnya mengkhianati.
"Kau sudah mengingatnya? Malam-malam panjang kita, yang selalu bergairah dan panas. Sayang, Steven tidak pernah mengizinkanku untuk membuka identitas diriku di hadapanmu."
"Pergi saja kau ke neraka!"
"Itu memang akan aku lakukan sebentar lagi, bersamamu. Kita akan mengguncang neraka dengan permainan panas dan penuh gairah. Sudah setahun aku tidak menyentuhmu, jadi maaf jika nanti aku agak kasar kepadamu."
Viona memalingkan muka. Steven sudah menjual jiwa dan raganya kepada pria ini, hanya demi dapat mengganti kelamin. Setelah Steven pergi, dia pikir pria ini juga akan pergi. Namun siapa yang menyangka, jika pria itu selama ini ada di sekitarnya.
Yang Viona tahu, Leo berdomisili di Kanada. Pria itu seorang pemilik toko perhiasan dan pakaian mewah yang sudah mendunia. Dulu, Steven menjual dirinya dengan sebuah pernikahan kontrak yang saling menguntungkan. Leo memberi Steven banyak uang, sementara pria itu dapat melebarkan sayap bisnisnya hampir di seluruh negara Asia.
Kontrak itu sudah selesai setahun lalu, bersamaan dengan menghilangnya Steven dalam kehidupan Viona. Steven membawa pergi seluruh uang hasil jerih payahnya, dengan dalih ingin memulai kehidupan baru dengan pasangannya.
Viona tidak membenci Steven. Dia juga tidak membenci Leo. Dia mendapat uang banyak dari Leo. Dia juga selalu mendapatkan kepuasan batin, jika bercinta dengan Leo. Meski mereka selalu bercinta dalam suasana kamar yang gelap. Karena Viona tidak mau melihat suami kontraknya, atau dia akan sulit melepaskan diri.
Andai Leon tidak membuka penyamaran, Viona juga tidak akan tahu. Tapi bau parfum Leo, sudah menjelaskan segalanya. Itu parfum yang diproduksi hanya untuk Leo. Tidak seorangpun di dunia ini memiliki aroma itu, selain pria itu.
"Aku memutuskan untuk memperpanjang kontrak pernikahan kita. Kali ini aku sedikit memaksa, atau kau akan kehilangan karir cemerlangmu di dunia modeling."
"Apa kau sedang mengancamku?"
"Hanya sedikit memberimu peringatan. Karena kau sudah melihat wajahku, maka tidak ada lagi yang harus disembunyikan. Termasuk tampil berdua di depan publik."
###
Malam itu, Leon melepaskan Viona. Tapi hanya untuk mendorongnya ke masalah yang lebih besar.
"Apa ada yang salah, Viona?" Leon pura-pura memasang wajah penuh perhatian.
Viona hanya menatap pria itu dengan kesal. Dia ingin mencakar wajah Leon yang sesungguhnya teramat tampan di balik kacamata sialan dan dandanan noraknya. Namun mereka sedang berdiri di depan banyak orang.
Leon tidak mengajaknya untuk memperbaharui kontrak. Leon menikahinya secara resmi. Pernikahan mereka sah di mata agama dan hukum Indonesia. Meski pernikahan sederhana, namun suasana terasa sakral karena sedikitnya tamu yang diundang.
Seluruh kru pemotretan Viona tentu saja di undang. Selain itu ada beberapa petinggi hotel yang merupakan bawahan Leon. Bahkan Steven tersenyum lebar di antara tamu undangan, ketika pasangannya mendapatkan lemparan buket dari Viona.
"Kenapa kau melakukan ini?"
"Karena aku tidak mau lagi kehilanganmu."
###
Semua tamu tengah menikmati pesta barbeque di taman. Namun Viona masih duduk di salah satu kursi di area pernikahan. Seharusnya pernikahan itu menjadi satu hal yang romantis. Tapi semua terasa tidak berbekas di hatinya.
Altar berhias bunga dan pita cantik di tepi pantai nan indah, terlihat mengenaskan di matanya. Gaun sifon berwarna putih sepanjang mata kaki, dengan hiasan mutiara air tawar di sepanjang pinggang terlihat begitu buruk di tubuhnya.
Dia tidak siap dengan pernikahan mendadak ini. Meski dia sudah tidak memiliki orangtua lagi, dia juga memiliki harapan indah. Dia ingin menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya.
Lalu apakah dia tidak mencintai Leon? Dia memang menyukai kejantanan pria itu yang selalu dapat memuaskannya. Selama satu tahun menjalani pernikahan kontrak dengan Leon, dia sangat penasaran dengan rupa pria itu.
Leon pria yang sangat tampan, dengan tubuh proposional. Pria itu memiliki penampilan yang sangat menggiurkan. Penampilan noraknya mungkin dimaksudkan agar tidak ada wanita genit yang menggodanya.
Dia melihat Leon tertawa dengan salah satu tamu. Mungkin itu salah satu temannya. Penampilannya sangat menipu. Nyatanya Leon dapat bersikap luwes dan bergaul dengan sangat baik. Tidak dingin dan terkesan takut kepada para wanita, seperti yang selalu ditunjukkannya jika di tengah pesta kaum borjuis.
"Makanlah." Leon menyodorkan sepiring daging bakar yang sudah dipotong-potong lengkap dengan saos kacang pedas.
"Aku tidak lapar." tolak Viona sambil mendorong piring itu menjauh.
"Kau masih marah kepadaku?" pria itu kini mengambil tempat duduk di samping Viona. Wanita itu dapat menghirup aroma wangi yang menguar dari tubuh Leon. Aroma yang selalu membuatnya panas dingin.
"Coba saja kau pikirkan! Mana ada seorang laki-laki yang menyeret seorang wanita pada sebuah pernikahan yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya!"
"Aku sudah memikirkannya masak-masak."
"Sejak kapan?"
"Sejak setahun yang lalu."
"Dasar pembohong!"
Leon melepaskan kacamatanya, lalu meletakkan di atas meja berlapis kain linen puith itu. "Aku menyukaimu sejak lama, Viona. Aku mencintaimu. Semua hubungan fisik kita tidak semata dilandasi oleh napsu, tapi karena aku menyukaimu."
"Aku tidak ingin berpisah darimu. Tapi aku harus menepati janjiku kepada Steven. Dia tidak mau, jika akhirnya aku menyakitimu. Tapi demi Tuhan! Aku sangat tersiksa karena harus dijauhkan darimu."
"Lalu kenapa selama ini, kau harus menyamar?"
"Karena jika kau tahu identitasku yang sesungguhnya, kau pasti akan lebih menjauh dariku."
Viona membenarkan perkataan Leon di dalam hati. Jika dia mengetahui Leon adalah mantan suami kontraknya, maka dia akan menolak pekerjaan apapun yang berhubungan dengan pria itu. Dia ingin melupakan pria itu, kendati rasanya begitu sulit.
"Lalu apa tujuan dari pernikahan ini?"
"Aku mencintaimu, Viona. Aku hanya ingin kau selalu bersamaku, disisa umur kita."
Viona hanya terdiam mendengar ucapan Leon. Cinta? Leon terdengar tidak sedang bergurau atau mengejek. Pria itu tulus dengan perasaannya. Bahkan Viona juga dapat merasakan kasih sayang pria itu, tiap kali mereka berhubungan.
Leon tidak pernah mengambil keuntungan darinya. Meski napsu pria itu seakan tak pernah terpuaskan, tapi Leon tidak pernah memaksakan kehendaknya. Leon akan berhenti, jika Viona sudah pada titik terlemahnya. Leon juga selalu memperlakukannya dengan lembut, seakan dia takut napsu menggebunya akan menyakiti Viona.
"Dengar Leo, Leon? Sebenarnya siapa namamu yang sebenarnya?"
"Jadi kau tidak mendengarkan ketika nama lengkapku disebut saat pernikahan kita tadi?" ada nada kecewa pada perkataan pria itu.
"Maaf, tapi tadi aku hanya sangat terkejut. Wanita mana yang tidak akan kehilangan akal, jika keluar kamar sudah ditodong dengan persiapan pernikahan? Untung saja aku tidak gila!"
Leon menyandarkan tubuhnya, "Baiklah. Namaku Leon Ferdinand Angelo. Steven selalu menyebut namaku, Leo. Kau juga bukan?" ada nada ambigu di sana, dan seketika pipi Viona memerah menahan malu.
"Jangan mengingatkanku akan hal itu!" Viona merasa kesal, sekaligus berkedut di suatu tempat. Ternyata dia masih menginginkan pria itu, jauh lebih besar dari sebelumnya.
"Well, kau ingin berbulan madu kemana? Karena kau kalah taruhan, bukankah kau harus memberikan hadiahnya kepada kedua temanmu itu?"
"Eh, darimana kau tahu hal itu?"
"Kau tidak mempercayai kekuasaan seorang Leon Angelo rupanya."
###
"Leon, jangan!" desis Viona lirih tidak seperti kemauannya. Dia sebenarnya ingin berteriak agar Leon berhenti menganggunya, namun tindakan pria itu menghentikan semua jenis protes yang hendak dia lontarkan.
"Rupanya ini masih sangat sensitif, ya." bisik Leon serak. Sekali sentak, dia sudah melepaskan penutup tipis dari payudara Viona.
Leon menyandarkan tubuh Viona yang sudah setengah telanjang di dinding pinggir kolam renang. Viona menggigit bibirnya kuat, ketika kedua jempol Leon mengusap-usap ujung pentil payudaranya. Kedua kakinya lemas, namun salah satu paha Leon menahannya agar dia tidak tenggelam ke dalam air.
Setelah acara pernikahan mereka yang tertutup, Leon meninggalkan Viona sendiri di kamar Penthousenya. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan Leon dengan klien. Nyatanya sampai sore, pria itu masih belum juga menampakkan batang hidungnya.
Viona juga kebetulan hari itu bebas. Sebenarnya dia sudah harus kembali ke Jakarta esok hari. Tapi Leon menguncinya di kamar, jadi dia tidak bisa membereskan barang-barang di kamarnya sendiri.
Karena bosan, Viona akhirnya memutuskan untuk membunuh waktu dengan berenang. Beruntung sekali, karena Leon memiliki kolam renangnya sendiri di atas atap. Saking asyiknya, bahkan Viona tidak menyadari jika Leon sudah bergabung dengannya.
"Leon, hentikan! Kau membuatku tersiksa!" napas Viona mulai tersengal. Ujung pentilnya adalah bagian paling sensitif dari tubuhnya, dan Leon sangat mengetahuinya.
"Tidak, sayang. Kau selalu menikmatinya. Ini sudah lama sekali, dan rasanya payudaramu semakin besar dan kencang. Kau pasti sangat rajin merawatnya." Leon meremas kedua gundukan besar milik Viona, hingga wanita itu merintih-rintih keenakan.
"Iya, aku selalu merawatnya dengan baik." Viona memejamkan mata, sementara kedua tangannya sudah melingkar di belakang leher Leon.
"Kalau begitu, aku akan mencoba melon besar milikmu." Leon menurunkan mulutnya hingga berada di depan salah satu pentil Viona.
"Kau memang selalu menyukainya." Viona kembali mendesah, ketika mulut Leon mulai menghisap. Satu tangannya yang bebas masih meremas dan sesekali mengusap ujung pentil Viona.
"Rasanya masih sama seperti terakhir aku menyentuhnya. Bahkan sekarang terasa semakin nikmat." ujar Leon parau. Dia kini mulai bergantian mencumbu dan memanjakan kedua payudara Viona yang terasa semakin membengkak karena ulahnya.
"Leon, aku—ohhhhhh—aku menginginkanmu sekarang!" rintih Viona sambil menggesek-gesekkan selangkangannya yang sudah basah di paha telanjang Leon.
"Aku juga sudah sangat ingin memasukimu."
"Kalau begitu, tunggu apalagi?"
"Apa kau yakin? Kali ini aku tidak akan menahan diriku lagi. Aku ingin merasakan semuanya dengan bebas dan keras."
"Apapun itu, sayang." Viona menggigit bibirnya dengan frustasi. Setahun ternyata sama sekali tidak menghilangkan kebutuhan dirinya akan pria itu. Viona merasa tubuhnya seperti terkena demam tinggi, ketika sudah disentuh tangan Leon.
"Aku sudah lama tidak menyentuh wanita. Jadi, jika nanti aku agak kasar maka kau harus memakluminya." ujar Leon lembut. Viona hanya mengangguk, dan Leon membawa tubuh mereka berdua keluar dari dalam air.
Kaki Viona menggantung erat di pinggang berotot milik Leon. Dia membelalak tidak percaya, ketika menyadari ketelanjangan Leon. Namun pria itu hanya tertawa, sambil terus berjalan menuju kamar.
"Kau merasakannya? Dia butuh segera memasukimu, atau dia akan menggila."
"Tentu saja aku dapat merasakannya. Lubangku juga sudah merindukan pasangannya." dengan tangannya, Viona melepaskan tali simpul di kedua sisi celana renangnya.
Leon berhenti sejenak, dan membiarkan tangan Viona menyelipkan kejantanannya yang sudah mengacung di antara dirinya dan vagina Viona. Gesekan hangat kedua benda itu membuat mereka mengerang nikmat, hingga saling menautkan bibir mereka yang sama mendamba.
###
"Kau sudah sangat basah, sayangku." Leon membaringkan tubuh Viona dengan hati-hati di atas ranjang. Dia masih menggesekkan batang kejantanannya ke atas dan ke bawah di bibir vagina Viona.
"Dia sudah sangat ingin dimasuki, sayang." bisik Viona dengan suara serak. Dia membalas pagutan panas Leon, dan membalas belitan lidah Leon yang memporak porandakan seisi mulutnya.
"Kau harus mengatakan, jika kau merasa kesakitan."
"Iya, sayang. Kau tidak perlu khawatir. Aku sangat senang karena ini percintaan pertama kita dengan saling melihat satu sama lain. Aku yakin, rasanya pasti akan sangat berbeda."
"Kalau begitu aku tidak mau menunggu lagi. Bersiaplah, karena aku tidak akan menahan diriku lagi. Kau sangat tahu, jika aku tidak pernah terpuaskan olehmu. Jadi jangan salahkan aku, jika aku akan membuatmu tidak bisa berjalan besok."
"Leonnnn, aggggghhhhh!" pekik Viona ketika kejantanan besar dan panjang milik Leon mulai menginvasi. Dia mencengkeram erat lengan Leon, ketika rasa perih dan sempit menyerangnya.
Bahkan dia sudah tidak perawan. Pria itu sudah merenggutnya. Namun karena lama tidak dimasuki, mungkin membuat vaginanya harus menyesuaikan lagi. Leon sepertinya merasakan siksaan itu juga. Karena dia meringis dan menahan laju pompaannya. Untuk beberapa lama dia hanya diam, tidak seincipun menggerakkan alat vitalnya itu.
"Bagaimana mungkin kau menjadi seperti perawan lagi? Ini sangat sempit, sayang. Tapi ini juga sangat nikmat. Kau meremasku dengan sangat ketat. Kau merasa kesakitan?"
"Hanya sedikit perih, Leon. Kau tahu jika punyamu memang selalu terlalu besar untukku." Viona menyambut bibir Leon yang memagutnya mesra.
"Tapi kau menyukainya. Ingat bagaimana kau selalu mendesah dan menyebut namaku? Desahanmu selalu terdengar seksi di telingaku, hingga rasanya aku selalu tidak ingin berhenti untuk memasukimu."
"Leon, kau membuatku semakin mendambakanmu."
"Tunggu sebentar lagi, dan kau akan menikmatinya, sayangku."
"Leon! Kau nakal sekali!" Viona terengah ketika bibir Leon mulai berpindah ke ujung salah satu payudaranya. Leon sangat mengetahui, bagaimana menghilangkan rasa sakit di bawah sana.
Hisapan dan usapan lembut jempol Leon di pentilnya, sukses membuat Viona mendesah merem melek. Dengan sangat perlahan, Leon bergerak memompa naik turun hingga vagina Viona sudah terasa licin dan sangat nikmat dimasuki. Leon menarik penisnya dengan sangat perlahan ketika keluar dari lubang kenikmatan Viona. Namun dia akan memasukkannya dengan gerakan cepat, hingga batangnya itu masuk semua dan hanya menyisakan kedua buah pelirnya.
Leon terus melakukannya, hingga Viona mendesah-desah tidak karuan. Hunjaman-hunjaman keras Leon, membuat Viona seperti terbang di angkasa. Dia merasakannya lagi, namun dengan suasana yang sangat berbeda.
Mereka dapat saling menatap satu sama lain. Leon dan Viona dapat melihat api membara di masing-masing mata mereka. Leon dapat menikmati tubuh Viona sepuasnya, bukan hanya sekedar merasakan tekstur lembut kulit wanita itu.
Sementara Viona tak lagi hanya membayangkan rupa fisik Leon. Pria itu sangat tampan, dengan otot dan kulit kecoklatan yang bahkan lebih seksi dari yang selalu dibayangkannya. Dia juga dapat merasakan bibir Leon dimana-mana, dan dapat merasakan ketika pria itu memanjakan kedua payudaranya yang selalu membengkak mendamba.
"Viona, aku sudah tidak dapat menahannya lagi."
"Aku juga, sayang."
Leon semakin mempercepat tusukan-tusukannya. Viona merasakan sesuatu hendak meledak di dalam dirinya, ketika ujung kejantanan Leon menyentuh area G-spotnya. Dia mendekap tubuh Leon erat, ketika orgasme pertamanya datang.
Leon semakin mempercepat tempo pompaannya. Batang kejantanannya terasa diremas dengan rasa nikmat luar biasa, ketika Viona mencapai klimaksnya. Dia berteriak keras menyebut nama Viona, ketika pelepasannya akhirnya datang.
Dia menyemburkan benihnya berkali-kali setelah mengakhiri dengan sebuah tusukan keras dan sangat dalam. Bahkan Viona terengah-engah menahan sensasi sakit dan nikmat yang bercampur menjadi satu.
###
"Lagi?" Viona bertanya dengan mimik tidak percaya. Baru beberapa saat lalu mereka menghabiskan percintaan panas untuk yang kedua kali di atas sofa. Sekarang Leon meminta lagi di dalam dapur mereka.
Viona baru selesai mencuci piring sisa makan malam mereka yang terlambat. Leon sudah menempel seperti lintah, di belakangnya. Jangan bayangkan mereka tengah berpakaian lengkap. Tidak sama sekali.
Leon hanya mengenakan kimono tidur berwarna merah marun, dan tidak ada apapun lagi di bawahnya. Bahkan bukti gairahnya sudah menyundul selangkangan Viona. Wanita itu hanya memakai kemeja milik Leon, yang terlihat agak sedikit kebesaran membalut tubuh seksinya.
"Kau ingat, berapa kali kita bermain dalam satu malam?"
Viona tidak ingin mengingat, namun percintaan panas itu selalu membayang di pelupuk mata. Mereka hanya bertemu satu minggu sekali, dan Leon selalu memborong dengan paling tidak menunggangi Viona empat sampai lima kali semalam.
"Leon, kau benar-benar maniak!"
"Apa kau tidak?"
Viona ingin membantah, tapi bahkan sekarang selangkangannya sudah basah. Leon bahkan hanya memeluk pinggangnya dan tidak melakukan apapun. Viona selalu menikmati semua yang dilakukan Leon. Dia juga sama maniaknya dengan Leon. Hanya saja dia selalu berpura-pura sudah lelah dengan gempuran Leon.
Dia masih menginginkan Leon. Selalu begitu. Tapi bercinta dengan pria yang tak terlihat bentuknya, selalu membuatnya takut. Dia juga ingin menyalurkan keliaran dalam dirinya. Tapi dia takut jika Leon memanfaatkannya.
Sekarang dia juga ingin mengimbangi keinginan Leon.
Viona mengelap kedua tangan, kemudian berbalik menghadap Leon. Dia duduk di atas meja dapur, dan menarik tubuh Leon di antara kedua pahanya.
"Jadi sekarang kucing manisku sudah berubah menjadi kucing liar?" tawa Leon senang dengan sikap Viona yang tak lagi sok jaim.
"Mulai sekarang kita akan melihat, seliar apa kucing yang kau pelihara ini." kikik Viona dengan nada genit.
"Kenapa tidak dari dulu saja kita benar-benar menikah?" Leon menarik pinggang Viona, hingga panggul wanita itu berada di pinggir meja.
"Bukankah dulu kau hanya memanfaatkanku?" Viona meledek tanpa ada rasa tersinggung. Dia melebarkan kedua pahanya, dan meletakkan kedua kaki di tepian meja.
"Kau juga menikmati uangku. Sekarang apa yang ingin aku lakukan untukmu?" Leon menatap gundukan bersih tanpa rambut dengan lipatan merah jambu di hadapannya.
"Terserah kepadamu, Tuan. Mulai sekarang aku hanya milikmu."
Leon menyeringai senang. Dia menarik salah satu kursi dari meja makan, kemudian duduk di depan Viona yang sudah mengangkang. Untuk sesaat dia hanya menatap gundukan penuh kenikmatan itu.
"Oh, itu sungguh sangat menyenangkan." Viona mendesis ketika lidah Leon menyapu lembut bibir bagian luar vaginanya.
"Aku berjanji kau akan merasa sangat puas hanya dengan sapuan bibir dan lidahku ini, sayang."
"Buktikan saja jika itu bukan omong kosong."
Leon membuktikannya. Viona dibuat kelojotan hanya dengan hisapan di klitoris dan gelitikan lidah Leon di lubang vaginanya. Dia bahkan mengalami orgasme sampai dua kali ketika Leon menggantikan lidah licinnya dengan kedua jarinya.
Leon mengocok vaginanya, dan menyentuh area G-spotnya yang sensitif. Viona terengah-engah penuh kepuasan ketika Leon menarik kedua jarinya dari lubang miliknya. Pria itu menjilati sisa cairan kenikmatan Viona, sebelum beranjak berdiri dari kursi.
"Sekarang giliranmu yang harus memuaskanku, manis."
Sebelum Viona dapat mengatur napasnya kembali, Leon sudah memompanya dengan kuat. Lidah dan mulut pria itu sudah kembali menjelajah dadanya, hingga Vionapun kembali terangsang.
Hanya dalam sekejap, dapur itu sudah dipenuhi dengan rintihan dan tarikan napas memburu dari keduanya. Leon menurunkan tubuh Viona, dan menyuruh wanita itu telungkup di atas meja makan.
Leon memompa Viona dari belakang. Dengan posisi ini, Leon merasa lubang Viona kian sempit menjepit penis besarnya. Tubuh Viona terguncang-guncang di atas meja, dengan kedua payudara masih menjadi jajahan Leon.
Pria itu sangat mengetahui, jika payudara Viona adalah titik tersensitif wanita itu. Napas Viona kian memburu merasakan tusukan Leon yang kian cepat, sementara puncak payudaranya kian membengkak saja.
"Aku akan datang, sayang." Leon berbisik di telinga Viona. Mulutnya menggigit lembut daun telinga wanita itu. Sementara kedua tangannya memeluk erat tubuh Viona. Bunyi kejantanan dan pantat Viona yang beradu semakin membuat panas ruangan itu.
"Leonnnnn!" jerit Viona ketika untuk kesekian kalinya orgame datang menghantamnya.
"Vionaaaa!" lolong Leon mengakhiri tusukan mautnya. Dia membenamkan dalam-dalam kejantanannya di sela paha Viona, merasakan kedutan dinding vagina Viona yang meremas-remasnya hingga cairannya keluar begitu banyak.
Post a Comment